Assalamu’alaikum warah matullahi wabarakatuh..
Bismillahirrahmanirrahiim..
Saudaraku, sekarang saya mau berbiacara tentang PERCEPATAN AMAL.
Waktu, yang bergulir, memang tidak akan pernah datang kembali. Maka merugilah kita semua bila tak pandai memanfaatkan waktu dan mengelolanya agar setiap helaan nafas tak menjadi sia-sia. Allah berfiman:
Bismillahirrahmanirrahiim..
Saudaraku, sekarang saya mau berbiacara tentang PERCEPATAN AMAL.
Sering kali, dalam waktu 24 jam sehari percepatan diri kita mengukir prestasi amal saleh seringkali kalah dengan percepatan kita mengukri kelalaian. Berapa banyak sih waktu yang kita habiskan untuk beribadah, berdzikir, bertafakur, berpikir atau berdakwah bila dibandingkan dengan waktu kita untuk bersenda gurau, pesta pora, makan, tidur, melamun hingga sibuk mengejar kenikmatan dunia? 50:50? 30:70? Atau malah 10:90?
Dari yang sedikit pun bisa jadi tak cukup kuat pula kualitasnya. Padahal, ibarat emas, amal tak hanya cukup diukur dari banyak atau beratnya namun juga dari seberapa murni kualitas (karat)nya. Bagaimana jadinya coba bila sholat yang tak khusyuk, sedekah yang tak ikhlas, membaca qur’an yang tak rutin, wakaf yang riya’, senyum yang palsu, ketaatan yang terpaksa, terus saja bersandingan dengan iri yang dipupuk, dengki yang mengakar, marah yang membara, hasut yang meluas, takabur di hadapan para manusia saat berkumpul di dalam majelis, hingga ghibah yang rutin dan intensif? (asal tahu saja, biang ghibah itu ternyata bukan hanya di kalangan ammah, tapi juga para ikhwah). Apa tidak akan tekor bila kelak ditimbang berbandingan?
Manusia yang bangkrut di hari kiamat, jelas Rasulullah adalah mereka yang datang dengan sejumlah pahala kebaikan namun habis dipakai untuk menomboki dosa dan salah mereka. Lantas, bagaimana nasibnya mereka yang datang dengan amalan sedikit, tidak purna pula? Heuuuh… Na’udzubillahi min dzaalik..
Waktu, yang bergulir, memang tidak akan pernah datang kembali. Maka merugilah kita semua bila tak pandai memanfaatkan waktu dan mengelolanya agar setiap helaan nafas tak menjadi sia-sia. Allah berfiman:
“..manusia adalah sosok yang merugi kecuali mereka yang beriman, beramal saleh dan saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran” (QS:103:3)
Ada beberapa upaa untuk membukukan amalan saleh kita, agar kita tak menjadi sosok merugi di yaumil akhir nanti. Pertama, amal saleh ini tentu harus dimunculkan secara berkualitas, murni laksana emas 24 karat, dan ini hanya bisa diperoleh dengan cara mengikhlaskannya semata-mata karena Allah. Dalam keadaan berat maupun ringan, miskin ataupun kaya, suka atau terpaksa, berpotensi dipuji atau dicaci manusia. Semua tak jadi masalah, karena toh landasan dasarnya “hanyalah” keinginan memperoleh ridho-Nya.
Kedua, amalan ini mestinya diupayakan berlangsung secara rutin, berkesinambungan, tak kenal kata lelah, bosa atau malas. Sekalipun kecil saja nampaknya dalam ukuran keseharian. Rasullah SAW saja menjelaskan:
“Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan secara teratur (Kontinu) meskipun hanya sedikit (HR Bukhari).
Oleh karena itu, jangan anggap enteng seratus dua ratus rupiah yang kita infaqkan pada kencleng masjid di dekat pasar setiap hari. Ataupun “sekedar” memaafkan semua kesalahan orang lain menjelang tidur. Kecil sih, tapi bila dilakukan secara tulus, ikhlas, dan rutin tentu menjadi besar nilainya di mata Allah.
Ketiga, jangan biarkan momen-momen keutamaan yang bisa menjadi ladang percepatan amal saleh lewat begitu saja. Sunnah-sunnah yang dianjurkan dan memiliki keutamaan tersebar di berbagai kesempatan. Di antaranya qiyamullail, sholat dhuha, shaum 3 hari di tengah bulan (ayyaumul Bidh), dzikir di pagi hari dan petang, bersedekah, silaturrahim hingga tilawah qur’an yang pada pembacaan setiap hurufnya Allah janjikan 10 kebaikan bagi diri manusia.
Itu masih di hari-hari biasa. Apalagi bila diukur pada satu momen istimewa , Ramadhan, yang memberi peluang percepatan amal saleh lebih besar dan lebih banyak lagi sesuai dengan janji Allah SWT akan keberkahan dan pahala yang berlipat ganda. Memang, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi dengan diri kita esok hari. Maka menyiapkan bekal amal saleh adalah upaya logis agar kita tidak terperosok menjadi sosok merugi, apalagi bangkrut, di masa ‘pensiun’ dari dunia nanti. Sesuai dengan sabda Nabi SAW,
“Sesungguhnya orang yang cerdas bukanlah orang yang banyak akalnya, tetapi orang yang sibuk mempersiapkan bekal akhiratnya”
Ayoo… semangat melakukan percepatan amal!! Jangan sampai, saat Malaikat Hafadzah membawa amalan kita –sebagai pemilik amal- ditampar wajahnya oleh setiap malaikat penjaga pintu langit, lantaran minim amalan-amalan yang membawa kita menuju syurgaNya sebab habis untuk menomboki dosa dan salah kita.
Kalau menyiapkan deposito demi pendidikan kita atau keluarga kita di masa depan saja kita bisa gigih betul, apalagi mengumpulkan deposito kebaikan demi kesejahteraan hidup yang nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar