Alhamdulillah, it has been 3 weeks I've been leaving in
Khartoum, Sudan. Accompanying my husband to complete his study in master degree
in here. Make a thesis been done in September 2013, insyaAllah.
Pastinya, berada di Sudan menjadi hal
yang amazing dan asing yang berkesan pertama kali untukku. Bagaimana tidak, si
aku ini orang yang gak pernah naik pesawat sebelumnya. Beberapa kali keluar
kota di Indonesia pun kebanyakan naik kereta, atau paling banter naik kapal
laut lah. Ngerasain naik kapalnya juga ketika usia 4 tahun, jadi tidak bisa
memberikan kesan bangga juga karena sudah berkelana jauh. Tapi setelah
bersuami, dan kesepakatan setelah menikah adalah aku ikut bersama suami 3 bulan
setelah menikah, menemani beliau menyelesaikan studinya, akhirnya pun aku
merasakan bagaimana rasanya terbang melayang dibawa oleh burung besi besar
menuju Afrika. I try my first time flight by plane, into Sudan, Afrika! The
country which is far far away from Indonesia. Yang agak bikin deg-deg-an pula
ada calon baby di dalam perut yang ikut terbang bersama bundanya. Hmm..
terbayang bagaimana dag dig dug-nya memikirkan semoga sang janin yang
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh ayahnya being fine.
Touch down in Sudan, dan Alhamdulillah
sedang musim dingin. Bayangan panas terik matahari yang memanggang ternyata
belum Allah berikan dengan kenyataannya untukku ketika sampai dan bertemu
dengan sang pangeran yang menunggu untuk menyambutku hangat. Hawa dinginnya
macam di pegunungan lah. Gak ada salju- saljunya juga.. :D
Selama perjalanan hanya bahasa inggris yang
menjadi andalanku untuk berkomunikasi. Dan pastinya ketika di Sudan pun aku
masih belum bisa komunikasi dengan bahasa arab. Hasil pelajaran bahasa arabku
saat SD dan SMP dulu benar-benar hilang dari ingatan. Paling banter yang
diingat cuma في اسبوع القادم انشاء الله (fii usbuu’il qoodim, insya Allah) yang artinya minggu depan insya
Allah.
rikzah itu macam bajaj di Jkt, tp designnya lbh elegan.:D |
Amjad, angkutan lokal dgn tawar menawar harga |
Selama di Sudan, aku tak bisa mengandalkan bahasa arab karena sungguh sangat tidak faham awalnya mereka ini berbicara apa. Terkagum- kagum dengan suamiku yang benar-benar lancar berbahasa Arab saat beliau tawar menawar harga taksi, amjad (semacam mobil pribadi yang dijadikan angkutan umum), rikzah (bajaj) atau saat berbicara dengan orang Sudan. Iyalah, beliau sudah 6 tahun tinggal disini. Karena kemampuan beliau dalam berkomunikasi, otomatis keseharianku tak bisa lepas dari penjagaan suami. Kemana-mana harus sama suami, karena aku tak pandai berkomunikasi.
Masjid di IUA (International University Of Africa) |
“Gak apa-apa ukhti, kita semua satu
keluarga disini”, kata ummu Muhammad, ibu beranak dua yang sudah 9 tahun
tinggal di Sudan menjawab ketidakenakanku karena sudah merepotkan ikhwah
disini.
Kagum. Ini yang namanya kekuatan ukhuwah. Malu benar aku saat menolak
beberapa titipan mereka karena barang- barangku yang sudah lumayan banyak dan
berat untuk dibawa kesini. Aaaahh,, mesti digetok pula kepalaku karena terlalu
egois dengan diri sendiri. Sedang mereka? Belum kenal dan belum bertatap muka
saja, kedatanganku sudah ditunggu- tunggu oleh mereka.
“ begitu senangnya kami karena ada
saudari baru yang akan hadir, semoga Allah membantu ukhti untuk merasa nyaman
dan betah ya di Sudan. Kalo ada apa-apa, ceritakan kepada kami saja”, begitu
kata ummu kholid saat mengajak ngobrol.
Aaahh,, meleleh hati ini ini dibuatnya.
Ukhuwah islam yang benar-benar terasa antar sesama anak bangsa di negeri orang.
Bahkan beberapa alat rumah tangga sudah mereka siapkan untuk keperluan kami
berdua disini. Seperti kompor, gas, beberapa alat masak, gelas, sendok, bejana
besar untuk mandi, bahkan satu ranjang untuk tidur pun sudah mereka siapkan.
Itu sebelum kedatanganku ke Sudan.
“Afwan ukh, walau bekas, semoga tetap
bisa bermanfaat bagi ukhti dan suami”, Ummu Ikrom kali ini yang membuatku
terpana oleh kebaikan-kebaikan mereka.
Allah, Allah, Allah, aku cinta mereka
karenaMu. Karena ukhuwah yang Engkau perlihatkan padaku saat keterbutuhanku di
negeri ini. Hmm.. belum genap seminggu tinggal di Sudan, Allah sudah memberikan
banyak hikmah kepadaku. Rasa syukur dan rasa cinta kepadaNya menjadi bertambah
kuat setelah sampai di Khartoum. Bantuan- bantuan dari saudara- saudara setanah
air, meyakinkan aku bahwa you were not alone. Ada Allah yang selalu
membersamaimu. Ada cinta dan kasih yang Allah titipkan lewat mereka para ibu-
ibu dan mahasiswa yang telah lama menetap di Sudan. Mereka layaknya keluarga
yang sudah lama bercengkrama, tak peduli dari kota mana di Indonesia, ketika
sampai di Sudan, maka mereka adalah saudara.
Suatu hari, suami mengajakku jalan- jalan
sore ke Amarot. Kali ini ke daerah dekat bandara. tidak jauh dari Riyadh,
daerah yang sementara aku tempati sebelum mendapatkan rumah tinggal di sekitar
Arkaweet, dekat dengan Jami’a Afriqiah (International University Of Africa),
universitas ternama di Sudan dan banyak melahirkan orang- orang hebat dari
sana. Suami mengajakku naik bis. Hamper sama dengan biskota di Indonesia, ada
supir dan ada kondektur yang menagih ongkos kepada para penumpang. Hanya yang
berbeda adalah suasana yang tercipta ketika berada di dalam bis. Kondektur,
tidak seperti di Jakarta yang akan menghampiri satu persatu penumpang, menagih
ongkos pembayaran, kadang mencolek bahu si penumpang tak perduli dia laki-laki
atau perempuan berhijab, di Sudan, sang kondektur tidak mesti menghampiri satu
per satu. Karena formasi tempat duduk penumpang yang hampir sama dengan formasi
mobil elf biasa, dengan penambahan beberapa kursi di dalamnya pada space
kosong, maka kondektur hanya memberikan kode dengan ketikan jari tanda bahwa
dia akan menagih ongkos. Semua penumpang otomatis akan menyiapkan uang
pembayaran. Bagi penumpang yang di belakang, tidak harus repot- repot
mendatangi sang kondektur. Cukup dengan meng-estafetkan uangnya kepada
penumpang yang di depannya hingga sampai ke sang kondektur. Kondektur pun saat
tidak tahu milik siapa uang yang diserahkan penumpang lain, hanya memberikan
kode uang milik siapa ini dan ada yang mengaku uang tersebut adalah miliknya,
kondektur tinggal memberikan kembalian kepada penumpang terdekatnya dan dioper
hingga sampai ke si pemilik. Ongkos naik biskotanya Sudan sekitar 80 piaster /
quruuz (kurang dari 1 pound Sudan).
Sederhana sebenarnya pelajaran yang aku
ambil dari kejadian tersebut. Bahwa dalam biskota pun, mereka menerapkan proses
ta’awun, saling tolong menolong sesame penumpang dan kondektur yang
tidak mereka kenal mungkin satu sama lain. Bayangkan bila ada saja penumpang
yang tak sudi memberikan uangnya lewat penumpang lain hingga diberikan kepada
kondektur, ia pun akan repot menghampiri kondektur yang jauh dari jangkauannya.
Para penumpang pun juga saling membantu memberikan tempat duduk tambahan kepada
penumpang yang baru naik. Memang di biskota sini disediakan tempat duduk
tambahan berupa kursi lipat yang menyatu dengan jok- jok mobil di tengah.
Apabila kursi penumpang utama sudah terpenuhi semua, penumpang yang baru naik
akan duduk di kursi tambahan. Yang bikin kagumnya adalah, penumpang lama akan
membukakan kursi lipat tersebut bagi penumoang yang baru naik dan mempersilakan
duduk. Atau, ketika ada penumpang di belakang yang mau turun, maka beberapa
penumpang duduk di kursi tambahan akan berdiri, melipat sementara tempat
duduknya dan mempersilakan si penumpang untuk turun dan tanpa keberatan, ia
akan menempati kursi kosong yang paling belakang, melipat kursi tambahan yang
baru saja ia duduki untuk nantinya digunakan oleh penumpang baru. Disini, kalau
di biskotannya yang belakang masih kosong, maka mereka tak keberatan untuk
mengisi kursi yang paling belakang dan mempersilakan penumpang baru untuk
mengisi kursi paling depan. Hmm..beda kalo di Jakarta atau Pondok Gede,
penumpang biasanya menginginkan duduk di posisi dekat dengan pintu, karena
tidak mau repot untuk masuk ke dalam. Bahkan ada saja yang tidak mempersilakan
perempuan tua untuk duduk di dekat pintu karena sudah terisi olehnya yang masih
muda, padahal sang nenek tidak sanggup untuk menyusur jauh masuk ke dalam
angkot karena usianya yang renta. Atau di biskota dan busway sekalipun
misalnya, ada laki-laki yang sudah duduk nyaman tak mempersilakan wanita yang
menggendong bayi untuk duduk. Sedang ia asik membaca Koran di tempat duduknya.
Tapi di Sudan berbeda. Mereka bahkan sangat mempersilakan wanita untuk duduk di
tempat mereka, dan hanya membiarkan laki- laki untuk berdiri di dekat pintu.
Wanita menjadi prioritas utama untuk duduk. Apalagi mereka yang sudah tua renta
dan hamil. Supir pun juga tidak mau menaiki penumpang bila tempat duduk
semuanya sudah terisi penuh. Sederhana memang. Tapi membuatku kagum dengan
budaya mereka yang menanamkan nilai- nilai ukhuwah sesama penumpang yang tidak
kenal satu sama lain. Miris dengan banyaknya kejadian disosial di Ibukota bila
melihat budaya ta’awun di negeri orang.
Budaya islam di sini pun begitu terasa. Apalagi
tentang tebar salam sesama kita. Teringat jawaban nabi saat ditanya oleh
seseorang mengenai Islam yang bagaimanakah yang paling baik, kemudian Nabi SAW
menjawab,
“Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada
orang yang kamu kenal dan yang tidak kamu kenal” (HR. Bukhari No. 11, 27 dan
Muslim No. 39).
Begitu juga di Sudan, budaya memberi
salam kepada setiap orang yang bertemu atau berpapasan sangat terlihat disini.
Bukan hanya kepada orang yang mereka kenal, bahkan kepada orang asing semacam
kami pun, salam tetap tersebar di mana-mana. Pernah aku dan suami sedang
berjalan-jalan sore sambil mencari rumah yang mau ditempati, ada orang sudan
melewati kami, kemudian mengucapkan salam kepada suamiku. “Assalamu’alaikum
Warohmatulloh, Keif, Tamam?” sapanya. Suamiku: Alhamdulillah khoir, anta?”,
Alhamdulillah kuwaiys, syukron”, jawabnya kemudian sambil berlalu. Aku bertanya,
“Siapa zi?” Suamiku: orang gak kenal kok. Dia ngucapin salam aja karena papasan
tadi”. Subhanallah, bahkan di tempat umum seperti ini pun bermuamalahnya mereka
menggunakan budaya yang islami. Mereka gunakan dalam keseharian mereka,saat
berbelanja, saat bertemu dengan pemilik kontrakan rumah, saat bertanya tentang
jurusan mobil yang hendak dinaiki pun, salam itu tetap tersebar. Bahkan sang
kondektur pun tetap ramah menjawab salam yang disampaikan. Subhanallah, bumi
Allah begitu luas, begitu indah, dan alhamdulilah, Islam pun masih tetap
membudaya di belahan benua yang jauh dari Indonesia. Semoga nanti, setelah
kepulanganku dari sini, budaya-budaya itu harus tetap aku tanamkan, even masih
sendiri, namun yang sedikit tapi berulang, semoga insya Allah akan menyebar
kebaikannya kepada sesama. minimal umat Islam yang ada di sekitar rumah. Amiiin.